Tafsir Al-Ma'un - NEWS WORLD
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tafsir Al-Ma'un



Tafsir Al-Ma'un
(Sebuah Kritik Terhadap Ketidak adilan Sosial)
1. Pendahuluan
Bukanlah suatu hal yang sulit Jika Tuhan menghendaki manusia tidak seragam; satu ras, kepercayaan (agama) dan tingkat sosial (QS 5: 48; QS 11:118). Namun justru Dia bertindak sebaliknya, menciptakan manusia dalam berbagai variasi dan keadaan. Tuhan menjadikan manusia dengan berbagai aneka warna kulit (ras) dan bentuk tubuh, sistem bahasa, agama (kepercayaan), kemampuan fisik, kecerdasan, dan lain sebagainya. Maka keberagaman merupakan pemberian Yang di Atas. Tak ada logika apa pun yang bisa masuk mempertanyakan mengapa "harus terjadi" perbedaan, kecuali logika hukum alam.
Bila ingin update berita terbaru silahkan kunjungi disini
Konsekuensi logis dari adanya perbedaan yang muncul adalah kerjasama. Dalam realitas keseharian, akan kita temui berbagai macam interaksi akibat dari perbedaan ini, dimana masing-masing golongan manusia menempati posisi dan melaksanakan fungsinya. Si kaya, sebagai misal, untuk mendirikan sebuah perusahaan tentu dia akan bekerja sama dengan golongan di bawahnya. Dia juga akan merekrut orang-orang yang kapabel dalam bidangnya. Sekretaris, bendahara, termasuk juga perkerja kasar, dengan tingkat kemampuan masing-masing ditempatkan pada posisi mereka yang sesuai. Ini mengharuskan adanya kerjasama antar bagian terutama demi keberhasilan tujuan didirikannya perusahaan. Di sini diperlukan sebuah kesadaran bersama mengenai fungsi dan peran masing-masing bagian. Tanpa adanya kerjasama yang baik, mustahil perusahaan tersebut bisa berdiri tegak, atau kalaupun berdiri tujuan akhir tidak akan tercapai secara maksimal.

Nah, lain halnya jika semua manusia sama. Kerjasama tidak akan tejadi sedemikian itu, karena jika semua manusia kaya, sebagai misal, tentu masing-masing akan berlomba-lomba membangun 'perusahaan' sendiri-sendiri. Mereka juga tidak akan saling kerjasama sebagaimana contoh di atas, sebab terlarut dalam ego yang ada pada diri mereka. Si kaya tentu tidak akan mau mengerjakan hal-hal yang dia pandang remeh, maka dia membutuhkan kehadiran orang yang mau mengerjakannya. Demikian halnya, si miskin juga membutuhkan keberadaan orang berpunya yang bisa menggajinya. Dari sini, perbedaan tidak hanya sebuah pemberian, tetapi lebih dari pada itu, ia juga kebutuhan. Bukankah orang kaya tidak akan disebut sebagai kaya jika tidak ada orang yang secara ekonomi tidak punya- untuk tidak mengatakan miskin secara langsung ?
Namun demikian, pada kenyataannya, realitas mengatakan lain. Perbedaan seringkali bermakna sebagai 'kesempatan' untuk mengeksploitasi. Hukum rimba, di mana yang kuat yang menang telah menjadi realitas keseharian, dan bahkan mendapat semacam justifikasi-pembenaran, baik dari segi politik, ekonomi, dan bahkan dari interpretasi agama sendiri. Tidak mengherankan jika kemudian berbagai ketimpangan dan konflik social muncul. Orang kaya semakin jelas menampakkan kekayaannya di hadapan yang miskin. Jurang pemisah keduanya semakin dalam dan lebar, terlebih ketika prestis dan kelas social menjadi tuhan (dengan t kecil) baru bagi masyarakat. Hal inilah yang kemudian banyak mengakibatkan konflik, di mana si miskin menuntut haknya dari orang yang 'mempekerjakannya', dan si punya menolak dengan berbagai alasan yang bisa dia buat.
Dalam keadaan seperti itu, agama memberikan alternative lain. Agama menyediakan 'jalan ketiga' (dalam istilah Antonio Gidden) sebagai jalan keluar. 'Pembedaan' bukanlah tujuan, tetapi lebih merupakan abstraksi tentang realitas itu sendiri. Jika keadaan punya adalah sebuah kenyataan dan itu diakui oleh Islam, maka orang lain di luar itu adalah kenyataan lain yang juga mendapat posisi (perhatian) di mata agama.
Islam amat ssngat menghargai kepemilikan. Dalam rangka itu, ia (Islam) memberikan tawaran-tawaran solutif yang bisa membuat perbedaan tidak terlalu ditonjolkan, namun kerjasamalah yang terpenting untuk tujuan keseimbangan dan keadilan sosial masyarakat. Ini dipertegas lagi dengan adanya konsep zakat sebagai landasan keislaman seseorang, yang jika tidak dilakukan Islamnya tidak sempurna. Tidak ada artinya orang mengaku iman, namun tidak peduli dengan problem social yang ada. Dengan demikian, ada nuansa lain dalam kehidupan masyarakat, yakni transendensi adanya keterkaitan antara manusia dengan Tuhan. Bahwa kepemilikan dan kelebihan harta bukan semata-mata atas usaha manusia, akan tetapi lebih merupakan karunia yang diberikan oleh Allah. Maka zakat merupakan lembaga sah yang didirikan Islam untuk mewadahi transendensi itu dalam bentuk nyata untuk mengangkat dan membebaskan masyarakat marginal; fakir miskin, anak yatim, dsb.
Namun tampaknya transendensi tidaklah terlalu penting bagi penganut ajaran kapitalis-feodalis. Bagi penganut faham ini, pemilik modallah yang menentukan peredaran kekayaan tanpa harus mempertimbangkan bagaimana keadaan ekonomi masyarakat pinggiran. Wajar jika kaum marginal semakin tidak berdaya dibawah kungkungan pemilik modal. Sikap pandangan hidup demikian tampaknya tidak hanya ada pada zaman sekarang, namun jika kita tarik garis lurus, sejarah telah membuktikan akan hal itu, termasuk ketika zaman Rasulullah. Dalam banyak tempat al-Quran menyinggung berbagai praktik-praktik yang tidak mencerminkan keadilan social.
Dalam konteks demikian, Surah al-Maun merupakan sebuah kritik social, dimana perhatian ditujukan kepada orang yang banyak menganiaya anak yatim dan orang-orang miskin, yang mestinya mendapat perhatian lebih sebab keadaan yang memaksa mereka berada dalam keadaan terpinggirkan. Bahkan dalam surah ini digambarkan pula bahwa orang yang menganiaya anak yatim merupakan perilaku mendustakan agama. Ini berarti secara eksplisit al-Quran seperti mengatakan bahwa keadilan social menjadi bagain dari berdirinya agama. Tidak hanya itu saja, ketimpangan social juga dikaitkan dengan shalat yang nota bene menjadi landasan agama Islam. Shalat sebagaimana diketahui, merupakan bentuk relasi vertical pengungkapan ketundukan manusia di hadapan Tuhan, namun justru dalam surah ini dikaitkan dengan relasi horizontal antar manusia.
Memang surah ini pada bersifat particular menyangkut diri Abu Sufyan, berkaitan dengan perbuatannya yang mengusir anak yatim. Meski demikian, tentu ada hal lain yang membuat surah ini "perlu" untuk diturunkan.
2. Terjemah
أرأيت الذى يكذب بالدين Tahukah kamu orang yang mendustkan hari akhir?
فذلك الذي يدع اليتيمItulah orang yang menghardik anak yatim
ولا يحض على طعام المسكينDan tidak mau mengusahakan secara serius persoalan makan (kebutuhan dasar) bagi orang-orang miskin.
فويل للمصلين mak selakalah bagi orang-orang yang shalat
الذين هم عن صلاتهم ساهون Yakni orang-orang yang lalai dari shalatnya
الذين هم يراؤن ويمنعون الماعون dan enggan menolong dengan barang beguna
3. Arti Kosakata (Tahlil al-Lafdzi)
أ)) Huruf istifham (kata untuk menunjukkan pertanyaan) "apakah"
(رأيت) kamu melihat, bentuk pertama dari رأي
الذى isim maushul-kata sambung, berkedudukan sebagai objek (maf'ul) yang ditandai dengan I'irab mahalli.
يكذب mendustakan, dari kata dasar كذَب-يكذِب, mengikuti wazan فعل-يفعل yang berarti "memberitakan suatu hal yang tidak sesuai dengan kenyataan" (al-Munjid: 1986)
ب)) huruf jar
(الدين) hari akhir majrur dengan huruf jar. Tanda kemajrurannya adalah kasrah, karena isim mufrad ( yang menunjukkan arti tunggal) dan akhir katanya tidak berupa huruf 'illat.
(ف) Maka, menunjukkan bahwa kata atau kalimat sesudahnya merupakan jawab istifham pada awal surah
(ذلك) Itu. Isim yang menunjukkan arti isyarat
(يدع) menghardik, mengusir dengan keras, bentuk kedua (mudlari') dari kata دع . merupakan shilah (penyambung) dari isim maushul الذى , sedangkan 'aidnya beerupa isim dlamir هو , yang tersimpan dalam kata يدع
(اليتيم) anak yatim, yakni anak yang belum mandiri telah kehilangan orng tuanya, baik ibu maupun bapak. Dalam konteks Indonesia, yang pertama disebut dengan piatu. Kata ini berkedudukan sebagai objek dari predikat يدع dan ditandai dengan harokat kasroh dhahiroh, karena berbentuk isim mufrad. Jamaknya أيتام,يتيمي
(و) Dan. Merupakan huruf 'athaf (penyambung dengan kalimat sebelumnya)
(لا) Tidak. Adalah huruf nafy, yakni huruf yang digunakan untuk menyatakan arti negative.
(يحض) fi'il mudlari' marfu' karena tidak ada 'amil nashib atau jazm yang merubah dari bentuk asalnya dan ditandai dengan dlammah dhahirah sebab shahih akhirnya (huruf terakhir tidak berupa huruf 'illat)
(على) di atas. Salah satu huruf jar.
(طعام) Makanan. Dii'rabi dengan I'rab jar sebab didahului oleh huruf jar على . kata ini berkedudukan sebgai mudlaf. Jamaknya أطعمة .
(المسكين) miskin, jamaknya مساكين . majrur sebab mudlaf ilaihi. Tanda kemajrurannya ditandai dengan kasrah dhahirah.
(ويل) Neraka Wail
(ل) Huruf jar
(المصلين) Orang-orang yang shalat. Isim fa'il (yang menunjukkan arti pelaku atau subjek) dari kata صلي-يصلي . kata ini berbentuk jama' mudzakkar salim (laki-laki jamak), dengan demikian ditandai dengan ya'.
(هم) Mereka (laki-laki). Isim dlamir munfashil (terputus)
(عن) Dari, tentang, mengenai. Huruf jar
(صلاة) Shalat (berdoa). Majrur oleh عن , ditandai dengan kasrah dhahirah
(ساهون) Lupa. Isim fai'l dari kata سهي-يسهو . berbentuk jama' mudzakkar salim, ditandai dengan huruf wa
(يراؤن) Riya', melakukan sesuatu dengan maksud mencari perhatian dari orang lain.
(يمنعون) Menolak
(الماعون) Meminta pertolongan
4. Sosio-Historis Turunnya Ayat (Sababu al-Nuzul)
Berkaitan dengan surah al-Ma'un di atas, ada beberapa riwayat yang menyebutkan bagaimana latar belakang ayat ini turun. Sebagian dengan matan yang jelas, namun sebagian yang lain hanya merupakan penisbatan tanpa ada penjelasan lebih lanjut.
Maqatil mengatakan: ayat ini turun berkenaan dengan diri al-'Ash ibn Wail al-Sahmi. Yakni sebagian dari beberapa sifat yang dimiliki oleh a'-'Ash adalah bahwa dia tidak percaya pada hari akhir dan berperilaku buruk (Nawawi: juz 2, hlm 551).
Sedangkan dari Juraij, beliau meriwayatkan: Abu Sufyan dalam satu minggu selalu menyembelih dua ekor hewan (jazuroini). Suatu saat dia kedatangan seorang anak yatim yang meminta makanan, namun Abu Sufyan malah mengusirnya dengan tongkat, maka turunlah ayat ini (al-Wahidi, 91: 306).
Al-Suday mengatakan: ayat ini turun berkaitan dengan Walid ibn al-Mughirah. Dalam riwayat yang lain, yakni dari al-Dlahak, dikatakan bahwa surah ini turun berkenaan dengan diri 'Amru ibn 'aidz al-Makhzumi. Sedangkan menurut 'Atha' dari ibn 'Abbas, surah ini berkaitan dengan salah satu orang munafik (op cit: hlm 551)
Dari beberapa riwayat di atas, dapat kita ketahui bahwa tidak semua riwayat memiliki kronologi peristiwa yang jelas, seperti tiga riwayat terakhir; Suday, Dlahak, dan riwayat 'Atha' yang dinisbatkan kepada ibn Abbas. Berbeda dengan ketiganya, tampaknya dua riwayat yang pertama lebih signifikan, meski dengan beberapa catatan. Secara kualitatif, materi hadis dengan jalur sanad Maqatil tampaknya kurang memiliki signifikansi lebih, hal ini karena perilaku buruk dan tidak percaya pada hari akhir merupakan suatu keburukan yang umum. Seperti kita ketahui, perilaku buruk dalam riwayat ini tanpa ada penjelasan lebih lanjut mengenai perilaku yang seperti apa dan bagaimana dilakukan. Terlebih lagi sikap tidak mempercayai salah satu pondasi agama Islam, yakni percaya kepada hari akhir. Artinya, terdapat banyak peristiwa yang dilakukan oleh bangsa arab ketika itu yang mencerminkan pada ketidaktaatan pada Nabi.
Kedua, berkaitan dengan redaksi penisbatan riwayat. Sabab al-Nuzul merupakan data histories yang tidak dapat diketahui tanpa adanya riwayat dari penerima pertama yang secara langsung mengetahui bagaimana suatu ayat turun. dan ini mengharuskan adanya standarisasi mengenai kualitas penukil untuk mengurangi-atau bahkan menghilangkan sama sekali- distorsi materi riwayat. Demikian halnya penisbatan, juga redaksi yang digunakan.
5. Tafsir
Ayat 1
Surah ke 106 ini didahului oleh sebentuk pertanyaan: Tahukah kamu mengenai orang yang mendustakan hari akhir? Bentuk-bentuk semacam ini banyak kita jumpai dalam al-Quran seperti; surah al-Fil, Alam Nasyrah, al-Ghasyiyah, dan masih banyak lagi. Secara spesifik, pertanyaan dalam surah ini menggunakan huruf hamzah yang secara gramatikal memiliki dua makna; tashawwur dan tashdiq (jawahir al-Balaghah: 72). Dalam khazanah ulum al-Quran, para ulama memberikan identifikasi lain yakni jika kata tanya diikuti oleh kata ra'a maknanya akan berubah menjadi akhbirni (beritahukan kepadaku)-(al-Zarkasyi).
Menarik di sini, bentuk pertanyaan dikaitkan dengan sikap takzdib al-din (mendustakan hari akhir). Kata kunci kazdaba sendiri disebutkan dalam al-Quran sebanyak 271 kali (mu’jam) dengan berbagai sighat (bentuk) dan konteks pembicaraan yang berbeda satu sama lain. Dalam hal ini, kata kadzaba dikaitkan dengan al-din, yang berarti bahwa pokok pembicaraan yang diinginkan dalam surat ini berkaitan dengan sikap orang-orang yang hari akhir.
Mengenai orang yang mendustakan agama, al-Quran banyak menyinggungnya. Orang-orang semacam ini, menurut al-Quran dikategorikan sebagai kaum yang tersesat-dlallun (al-buruj: 19). Demikian juga ancaman yang diberikan bagi mereka, yakni bahwa mereka diancam dengan ditempatkan di Neraka Wail. Bahkan dalam surah al-mursalat ancaman semacam ini diulang-ulang sebanyak sembilan kali. Ini berarti bahwa sikap takdzib sama dengan sikap tidak mau mengimani atau dengan kata lain kafir. Atau bahkan lebih dari kekafiran, sebab kata kadzdzaba mengindikasikan bahwa seseorang telah menerima berita yang benar namun ia tidak mau menerima sekaligus menyangkal terhadap kebenaran apa yang ia terima.
Ayat 2
Ayat kedua ini merupakan jawaban dari pertanyaan pada ayat pertama apakah kamu tahu mengenai siapakah orang yang mendustakan agama? Jika tidak, maka mereka itu adalah orang-orang yang menghardik anak-anak yatim ketika mereka mendatangimu dengan maksud memenuhi keperluannya. Dia menghardik anak-anak yatim itu sebab dia merasa bahwa mereka itu anak-anak udik, rendah, dan hina (al-Maraghi: Juz X, hlm. 392: 2001).
Menurut al-Alusi, digunakannya isim isyarah dalam ayat ke dua ini adalah untuk menunjukkan arti penghinaan dan merendahkan bagi orang yang menghardik anak yatim (Ruh al-Ma'ani: Juz X, hlm 475:2001). Secara gramatikal bahasa arab, kata ganti untuk menunjukkan orang ke tiga tunggal adalah kata huwa, namun ayat ini justru menggunakan kata dzalika yang mestinya untuk merujuk pada arti kebendaan. Atau jika kita melihat munasabat (keterkaitan) dengan ayat sebelumnya, kata ini relevan dari sisi content-nya, yakni takdzib al-din.
Ayat 3
Ayat ini merupakan kelanjutan dari keterangan ayat sebelumnya mengenai orang-orang yang mendustakan agama. Jika yang pertama adalah menghardik anak yatim maka yang kedua (yakni pengertian ayat ini) menolak memberikan bantuan kepada yang membutuhkan santunan. Ini dapat terjadi karena sejak awal dia memang tidak mengakui Islam sebagai agama serta menolak konsep tentang adanya hari pembalasan (al-Baghawi: Juz IV, hlm. 501). Dalam banyak hal kita tahu bahwa mengeluarkan sebagian harta (lebih sempit lagi zakat) merupakan salah satu dasar keislaman (rukun Islam). Maka di sini dikatakan bahwa menolak mengeluarkan sebagian harta yang dimiliki adalah sebuah sikap yang mendustakan agama.
Sampai pada tahap ini, meskipun Islam mengakui hak kepemilikan pribadi, namun ia (Islam) juga sangat sosialis dalam artian bahwa hak milik itu tidak secara mutlak dimiliki. Di sana ada hak orang lain; fakir miskin, 'amil, ibnu sabil, gharim, dan lain sebagainya. Dalam ayat lain Allah berfirman: فى أموالهم حق للسائل والمحروم (الذاريات: 19) . "sebagian dari harta mereka adalah hak peminta-minta dan keturunan".
Ayat 4-5
Secara simpel, balasan bagi orang yang melalikan shalat adalah neraka wail. Lalai dalam arti dia tahu akan kewajiban shalat namun dia tidak melaksanakannya, atau melaksanakan shalat namun tidak seperti apa yang dipraktikkan Nabi. Pengertian ini kita dapatkan dari dua ayat sekaligus (empat dan lima), untuk menghindari pemahaman yang parsial. Shalat, tentu saja kewajiban bagi orang Muslim. Penafsiran ayat ke-empat akan bertentangan dengan ketentuan tersebut jika tidak melihat munasabat dengan ayat setelahnya. Dan itu tidak mungkin terjadi ada dua perintah sekaligus yang berbeda dalam suatu waktu, perintah melaksanakan dan meninggalkan.
Dalam memandang ayat ini terdapat perbedaan di kalangan para ulama, di satu sisi ada yang melihat dari sudut pandang fikih sedangkan lainnya dari perspektif tasawuf. Dari sisi yang pertama, bahwa ayat tersebut ditujukan bagi orang yang memang sejak awal tidak melaksanakan perintah agama. Dengan demikian, permasalahan yang dilihat adalah persoalan perbuatan lahiriah. Berbeda dengan cara pandang fikih, maka tasawuf melihat bahwa neraka Wail diperuntukkan bagi orang yang salatnya tidak memberikan pengaruh terhadap perilaku buruk, atau justru ketika salat ia tidak mengerti atas apa yang sedang ia lakukan dan ucapkan, atau dengan kata lain tidak khusyu'.
Jika memang yang dikehendaki oleh ayat tersebut adalah pengertian kedua, konsekuensinya, meskipun orang melakukan salat, ia akan tetap mendapat siksaan. Dan tentu itu akan memberatkan umat. Sebagai jalan keluar, kita dapat mninjau kembali struktur bahasa yang digunakan. Pada ayat ini, kata sambung yang digunakan adalah huruf 'an, sehingga memberikan arti orang-orang yang memang meninggalkan salatlah yang mendapat siksaan. Ini berbeda dengan ayat pertama pada surah al-Mukminun قد أفلح المؤمنون الذين هم فى صلاتهم خاشعون. Dalam surah ini, kata awalan shalat menggunakan kata fi (di dalam), dengan pembukaan kalimat dengan af'al al-tafdlil (untuk menunjukkan lebih), sehingga bermakna "alangkah lebih beruntunglah orang yang shalat dengan khusyu' ". dengan demikian akan lebih tepat jika ayat empat sampai lima ini dipahami dengan pendekatan pertama.
Ayat 6
Yakni berbuat sesuatu tak lebih karena ingin mendapat pengakuan manusia, baik dalam shalat maupun dalam berbagai kegiatan lainnya (al-Mahalli dan al-Suyuthi: hlm. 511). Istilah riya' banyak kita kenal sebagai salah satu istilah kunci dalam ilmu tasawuf. Hal ini berkaitan dengan masalah hati namun justru berimplikasi pada keimanan seseorang, sebab diidentifikasikan sebagai syririk kecil. Termasuk dalam pengertian ini, menuirut al-Maraghi, adalah orang yang shalat dengan tujuan memperoleh hikmah dan pengetahuan hakikat shalat (op cit: hlm. 393).
Ayat 7
Menurut riwayat dari Ali, yang dimaksud dengan al-ma'un dalam ayat ini adalah zakat. Sedangkan menurut Muhammad ibn K'ab dan al-Kalbiy maksudnya adalah pemberian dalam arti yang luas. Menurut mujahid: pinjaman. Sedangkan menurut riwayat lain sebagai apa yang menjadi kebutuhan dasar manusia, seperti air, api, atau garam (al-Baghawi: hlm. 502).
6. Analisis
Manusia memiliki dua bentuk pola hubungan; vertical manusia dalam kaitannya dengan sang pencipta, dan horizontal manusia dengan sesama makhluk. Secara vertical, terbentuk suatu akumulasi hubungan yang lebih khusus lagi; ontologism, komunikatif dan etik (Izutsu, Toshihiko: 2003). Sedangkan manusia dengan sesama ciptaan, menciptakan hubungan-hubungan yang tak terhitung jumlahnya. Dalam banyak pembahasan tampaknya pola kedualah yang memiliki rating tinggi dalam berbagai kesempatan, namun tampaknya surah al-Ma'un ini menyajikan suatu hal yang sama sekali berbeda.
Kita dapat memahami bahwa surah ini dimulai dengan kalimat yang secara implicit mengatakan adanya pola ontologism tentang berakhirnya keberadaan manusia di muka bumi, yakni hari akhir. Namun kita akan segera tercengang ketika kita melihat kalimat berikutnya. Di sana ada perubahan secara drastic, di mana yang kemudian dimunculkan adalah sebuah problem sosial yang sesungguhnya merupakan permasalahan 'bumi', baru kemudian dilanjutkan lagi dengan hubungan vertical dalam relasi komunikatif-etik (shalat dan riya'). Lalu di mana letak permasalahan sebenarnya?
Sebelum lebih jauh, sebaiknya kita menilik kembali bagaimana keadaan masyarakat (yang merupakan sabab turunnya ayat) atau kasus yang sedang terjadi ketika surah ini turun. Sebagaimana di sebutkan dimuka, surah ini turun pada saat terjadi ketidakadilan sosial. Anak yatim merupakan symbol yang merepresentasikan masyarakat pinggiran; akses politik yang rendah, tidak memiliki payung hukum dan ekonomi lemah. Sedangkan "menghardik" tak bisa kita katakana selain adanya upaya penindasan yang dilakukan pihak kuat terhadap yang lemah. Di saat demikian, surah ini turun. Dengan demikian, surah ini berfungsi sebagai advokasi terhadap problem social sebagaimana dalam asbab al-nuzul.
Perlu disebutkan pula di sini, sebenarnya sudah banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk menciptakan keadilan. Misalnya saja surah al-Dluha. Dalam ayat 9-10, di sana secara jelas menghardik anak yatim itu dilarang. Secara ushuliy, bentuk nahiy (larangan) mengandung arti li al-tahrim (menunjukkan keharaman). Jika kita melihat kronologi turunnya surah, surah al-Dluha ini turun jauh lebih dahulu dari pada surah al-Maun. Surah al-Dluha, menurut riwayat Ibn Abbas menempati urutan ke-10, sedangkan al-Ma'un ke-16 (al-Suyuthi: al-Itqan). Meskipun sudah ada larangan, namun justru muncul kembali kasus yang sama.
Meskipun surah ini secara garis besar mengangkat isu ketidak adilan social, namun di lain pihak kita juga menemukan adanya keterkaitan dengan praktik pelaksanaan agama (shalat). Shalat bukan sekedar ritual formal, tetapi juga membutuhkan totalitas (etika) dalam melaksanakannya. Totalitas membutuhkan sebuah kesadaran mengenai ontology diri di satu pihak, dan kebutuhan atas suatu hal yang supranatural di luar diri di pihak lain. Dengan kesadaran yang utuh, melaksanakan shalat tentu bukan suatu penghalang yang mesti mendapat pengakuan dari orang lain dalam melaksanakannya.
Kajian shalat dalam surah ini Sekilas lalu memotong secara tiba-tiba kajian sebelumnya. Entri kata shalat diletakkan tepat di tengah-tengah surah, yakni ayat ke-4, baru kemudian disusul lagi dengan tema pertama. Dari sini tampak bahwa ada kaitan yang sangat erat antara problem social dengan masalah keagamaan. Bahwa masalah yang muncul dalam masyarakat merupakan bagian dari problem agama. Jika kita sepakat bahwa "shalat itu mencegah dari yang keji dan munkar" dan "sebagian dari sikap takdzib al-din adalah tidak peduli terhadap masyarakat terpinggirkan (yatim dan miskin)", maka tidak selayaknya kita bersikap seolah-olah tak pernah mengerti tentang kewajiban shalat.
>

Daftar Bacaan
  1. Nawawi, Muhammad, Tafsir al-Nawawi, Dar al-Kutub al-Islamiyah, juz II.
  2. Al-Wahidi, Ali Ibn Ahmad, Asbab al-Nuzul, Beirut: Dar al-Fikr, 1991
  3. Al-Alusi, Syihabuddin, Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-Quran al-'Adzim wa al-Sab'u al-Matsani, Beirut: dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, Juz X, 2001
  4. Al-Suyuthi, Jalal al-Din dan al-Mahalli, Tafsir al-Quran al-'Adzim, Dar Ihya' al-Kutub al-"Arabiyyah.
  5. Al-Baghawi, Ibn Mas'ud al-Farra', Tafsir al-Baghawi, Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, Juz IV, cet. I, 1993
  6. Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Dar al-Fikr, Juz X, cet. I, 2001.
  7. Al-Zarkasyi, Muhammad Ibn Abdullah, al-Burhan fi Ulum al-Quran, Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, Juz IV, 2001.
  8. Al-Suyuthi, Jalal al-Din, al-Itqan fi Ulum al-Quran, Dar al-Fikr, Juz I, Cet. III, 1951.
  9. al-Hasyimi, al-Sayyid Ahmad, Jawahir al-Balaghah fi al-Ma'ani wa al-Bayan wa al-Badi', Dar al-Fikr, 1994.
  10. Abd al-Baqi, Muhammad Fuad, al-Mu'jam al-Mufahras li al-Fadz al-Quaran, Indonesia: Maktabah Dahlan.
  11. Bisri, Adib dan Munawwir, KH., al-Bisri (Kamus Arab-Indonesia Indonesia-Arab, Surabaya: Pustaka Progresif, Cet. I, 1999.
  12. Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap al-Quran, Cet.II, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.

visitme at : Health Care

3 komentar untuk "Tafsir Al-Ma'un"

Ani girl 19 Oktober 2009 pukul 19.20 Hapus Komentar
wah sangat berarti tuch artkelnya...thanks mas, lanjutkan!!!
agan Co'ol Chuper 9 Februari 2010 pukul 09.40 Hapus Komentar
Ok miss Ani.
FYI Indonesia 1 September 2020 pukul 09.56 Hapus Komentar
terimakasih tafsirannya gan.

Jangan lupa visit back FYI Indonesia